The history of the world is but the biography of great man”, sejarah adalah tak lebih merupakan kumpulan biografi orang-orang besar. Pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Thomas Carlyle tersebut adalah pernyataan yang tepat untuk melukiskan makna sejarah. Karena ketika membaca sejarah, kita akan menemukan sepak terjang dan aksi orang-orang besar yang ada di dalamnya. Yaitu mereka yang pernah melakukan pekerjaan yang besar. Pekerjaan yang mampu merubah mata angin dan pola pikir umat manusia.
Salah satu orang besar yang mampu menorehkan sejarah hidupnya dengan indah adalah Sayyid Quthb. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi bangkitnya jihad Islam di seluruh dunia. Setidaknya itulah yang diakui oleh pengamat ‘terorisme’ dan ulama’ su’ yang menjadi pelayan Thoghut. Ya, ia bernama Sayyid Quthb –Rahimahullah-. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah seorang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya pada tahun 1966.
Polisi tersebut mengetengahkan kisahnya kepada kita, “Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya ada seorang lelaki yang dipenjara. Kami diberitahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Quthb. Orang ini agaknya telah mengalami siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.
Malam sebelum eksekusi gantung, seorang syaikh datang menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah. Syaikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah…” Sayyid Quthb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Syaikh, menyempurnakan seluruh sandirawa ini ? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat Laa Ilaaha Illallah, sementara engkau mencari makan dengan Laa Ilaaha Illallah.”
Dini hari esoknya, aku dan temanku menuntun tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.
Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisinya dengan senjata. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi. Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling menasehati saudaranya untuk tetap tsabat dan sabar, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di surga, bersama dengan Rasululloh tercinta dan para shahabatnya. Nasehat ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR, WA LILLLAHIL HAMD.” Aku tergetar mendengarnya.
Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda. Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Quthb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga anda dan seluruh teman-teman anda akan diampuni.” Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah bolpen, lalu berkata, “Tulislah saudaraku, satu kalimat saja…Aku bersalah dan aku minta maaf…”
(Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Quthb dipenjara, lalu datanglah Aminah, saudari beliau, sembari membawa pesan dari rezim thaghut Mesir, meminta agar Sayyid Quthb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada presiden Jamal Abdul Nasher, sehingga ia akan diampuni. Sayyid Quthb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rezim thaghut….”)
Sayyid Quthb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa beliau berkata, “Tidak akan pernah ! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akherat yang abadi.” Perwira itu berkata dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mendalam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…” Ustadz Sayyid Quthb berkata tenang, “Selamat datang kematian di jalan Allah….Sungguh Allah Maha Besar !”
Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan. Segera, para eksekutor akan menekan tugas, dan tubuh Sayyid Quthb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya. Mereka mengucapkan, “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasululloh…”
Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hamba-Nya yang shaleh. Aku senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.”
–Sumber : Mereka yang kembali kepada Allah, oleh Muhammad Abdul Aziz al-Musnad dan diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Amin Taufiq-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar