September 30, 2009

Kerinduanku

Mengutip dari Imam Al Ghazali " Satu kerinduan lebih baik dari seribu impian.satu kesadaran lebih baik dari seribu impian. Satu tindakan lebih baik dari seribu kesadaran. Satu tujuan akhir lebih baik dari seribu tindakan. Satu keikhlasan lebih baik dari seribu tujuan akhir ." Subhanallah...

Sebagai makhluk ALLAH yg dikarunia fitrah,kerinduan akan selalu ada dalam diri kita,pada apa saja.Karena ia adalah harapan,cita-cita,dan impian kita untuk memperoleh atau meraih sesuatu yang baik..

Akan tetapi,tidak selamanya kerinduan itu berujung pada keberhasilan yg memberi manfaat. Karena sering kali kita menambatkan kerinduan pada sesuatu yang salah.tepatnya pada alamat2 yg keliru. Sehingga bukan maslahat yg kt dapat,tetapi mafsadat yg kita tuai..

Suatu hari,di salah satu rumah di Madinah, Umar bin Khattab duduk bersama para sahabatnya. Lalu ia berkata, "Bercita2lah kalian". Satu persatu,meraka kemudian mengutarakan cita2nya. "Alangkah indahnya jika rumah ini dipenuhi emas sehingga bisa kuinfakkan di jalan ALLAH",Kata yg pertama..

"Aku ingin rumah ini dipenuhi intan mutiara agar dpt berinfak dan bersedekah di jalan ALLAH",tutur yg kedua.Dan sterusnya,sampai tidak ada lagi angan yg bisa mereka keluarkan.

Terakhir,giliran Umar menuturkan cita2nya sendiri. Katanya," Kalau aku,aku merindukan kehadiran pemuda,seperti Abu ubaidah bin Jarrah, Mu'adz bin Jabal,dan Salim Maula Abu Hudzaifah, yang dengan mereka aku berjuang menegakkan kalimat ALLAH..

Begitulah Umar.Ia telah mengungkapkan sebuah cita2 luar biasa,yg mungkin saja telah lama membuncah dalam jiwanya.. Itulah kerinduan yg beralamat jelas..bukan kerinduan picisan yg tak bermakna..


Ya ALLAH jadikanlah kerinduanku ini bermakna..biarlah hanya hatiku yang tahu..
Ku ingin kerinduan itu bermuara jelas..di taman keabadian itu..taman dzikir,taman syurga...


*On my journey to Makassar, 28 Ramadhan 1430, 2.30PM

September 15, 2009

Jalan Cinta Kita


Segala puji Bagi Rabb semesta alam yang membuat mata ku tiba-tiba terperanjat melihat sebuah buku yang tepajang di rak-rak sebuah acara "pesta buku Jakarta" beberapa bulan yang lalu. " Jalan cinta Para pejuang". Lalu kulihat penulisnya Salim A Fillah . Dalam hatiku bergumam. Subhanallah tak akan diragukan lagi muatannya pasti oke.

Awalnya ku kira sebuah novel islami. Namun setelah membaca resensinya. Ku tertarik untuk membeli dan memutuskan untuk memberikan kepada seorang saudaraku nun jauh di sana. Dalam perjalanan pulang dari pameran tersebut, ku langsung melahap lembar demi lembar tulisan akh salim.......“Jika kita menghijrahkan cinta, dari kata benda menjadi kata kerja,maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta,dari jatuh cinta menuju bangun cinta,maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga”, Subhanallah..

Beberapa waktu lalu, Alhamdulillah mendapat kesempatan untuk menghadiri bedah buku Jalan Cinta Para Pejuang di kampus FT UI. Subhanallah,,ternyata di ramadhan kali ini memang semua orang berlomba-lomba mendapat kebaikan, keberkahan, mengambil hikmah. Terlihat dari ramainya acara bedah buku tersebut yang di dominasi oleh para ADK, "Aktivis Dakwah Kampus". Namun bukan itu yang ingin saya bahas. Ada beberapa hal yang kembali membuat saya "tercharge". Kembali meluruskan niat dan memperbaharui makna cinta. Semua berawal dari sebuah visi. Yaitu " Berprasangka baik pada ALLAH " . Terkadang apa yang sering kali kita anggap sebagai musibah itu adalah cara ALLAH menolong kita.
Cerita seorang petani tua dan keledainya mungkin telah sering kita dengar dan menjadi motivasi tersendiri untuk kita. Begitulah cara Allah terkadang menggunakan cobaan cobaan ringan untuk membuat kita menengadah kepada Nya. Sering kali Allah melimpahi kita dengan rahmat Nya, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada Sang Khalik..Hikz..

Ah..cinta deritanya tiada akhir... Hal konyol yang di ucapkan Khi pat kai dalam sinema Sun Go Kong. Atau kisah Layla Majnun yang sempat saya posting di blog ini. Semua itu tak dapat disamaratakan dengan kisah cinta para pejuang. Kisah yang menarik lagi yang saya kutip dari buku ini yaitu " Mencintai sejantan Ali ".

Simak yuukz ..........


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.


Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-



Di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita. Itulah cinta jka dilandasi keikhlasan. Cinta karena ALLAH. Bersabar pada awalnya untuk menanti kebahagiaan pada akhirnya. Tepatnya, akan indah pada waktunya. Biarkan cinta kita, aku dan kamu berjalan dan mengalir sesuai kehendakNYA. Ya.. Membiarkan ALLAH berkehendak atas cinta kita..


Wallahu 'alam

September 09, 2009

Lagi-lagi masalah Facebook

Facebook.. Situs jejaring sosial yang sekarang dah menjadi pilihan utama para netters. Indonesia tercatat sebagai salah satu "pengkonsumsi" terbanyak. Bagaimana tidak dengan FB semua jadi mudah,tidak perlu dengan sms berbagai informasi dari kerabat cepat skali nyampenya. Selain itu FB juga menghubungkan saudara/ teman dari berbagai penjuru dunia. Bahkan seseorang yang sudah sekian tahun tidak bertemu eh malah ketemu di FB..Ini pun terjadi pada saya. Saya bsa ketemu sama saudara dan sepupu yang sejak dia lahir saya gak pernah ketemu. Tau-taunya ketemu di FB, teman kecil pun yang terpsahkan bertahun-tahun, malah ketemu di FB.Subhanallah.

Demam FB.. Yah mungkn itulah yang terjadi. Dari mengganti status satu ke status yang lain.Bahkan ada seseorang yang tiap sekian menit mengganti statusnya. Memangnya gak ada kerjaan apa , hampir tiap menit mengganti status. Syukur-syukur statusnya berisi tausyiah atau sesuatu yang informatif/mendidik.. Eh ini malah unek-unek yang tidak jelas. Belum lagi seseorang yang memposting link atau group yang aneh-aneh/nyeleneh. Mereka2 ini layak untuk di delete dari FB..ck..ck..ck..(menurut saya pribadi)

Itulah karena di FB memberikan kebebasan.Bebas mau memposting apa saja misalnya menulis notes. Menurut saya itu hak teman-teman. Yang jadi menarik sekaligus masalah, ketika seorang tertarbiyah menulis suatu notes dan hanya mentag beberapa nama wanta / akhwat saja di notesnya. Maksudnya apa neh?? Mengapa tidak semua friends yang ada di list yang anda tag. Mengapa hanya hanya 2-5 akhwat saja yang di tag. Pandangan saya, ini jadi ambigu..Mungkin menurut anda karena memang yang berkaitan dengan notes anda hanya akhwat2 tersebut. Tapi pernahkah anda berfikir, bagaimana respon akhwat2 tersebut yang di tag. Apalagi jika notesnya mengarah ke "perasaan". Saudaraku.. Wanita itu 99% pikirannya memakai perasaan dan 1 % akal. Sedang Lelaki kebalikannya. Oleh karena itu mengapa anda para ikhwah cenderung berpikir logis dan realistis. Masalah di atas baru secuil saja yang saya paparkan. Masih banyak masalah di FB yang menurut saya "mengganggu" kejernihan hati kita semua. Syukur-syukur kita bisa menjaga hati, namun kita mengakui itu sangat sulit. Bukan begitu??

Ini pun menjadi evaluasi diri bagi saya. Entahlah masalah ini akhirnya jadi memuncak. Awalnya masalah FB seperti di atas saya menganggap biasa saja. Tapi makin kesini, kenapa makin aneh ya temen2 di friend list saya. Padahal mereka orang2 cerdas dan terdidik, mereka pun orang tarbiyah. Semua jadi serba mencair baik itu antara sesama teman2 tarbiyah atau tidak. detailnya antara ikhwan dan akhwat. Terlalu cair saudaraku.... Ya ALLAH kami memohon ampun atas segala khilaf yang pernah kami lakukan. kami pun tak menyadarinya Ya ALLAH. Maafkan kami Ya Rabb. Hikz..Maaf saya tidak mau terlalu menggurui, karena saya yakin saudara-saudaraku sudah paham akan masalah ini. Ini hanyalah ungkapan kekhawatiran saya saja..

Saya jadi salut akhirnya ada group " WE SUPPORT AGAINTS VIRTUAL KHALWAT". Semoga saudara2ku semua tidak hanya ikut-ikutan menjadi anggota group tersebut tapi benar-benar kita aplikasikan baik di dunia maya atau nyata. Terakhir,, ini hanya pengingatan saja untuk kita. Di mana pun kita berada dan apapun yang kita lakukan,ingat ALLAH Maha Melihat. Semoga menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Wallahu'alam..


September 08, 2009

LAYLA MAJNUN

Kisah Layla Majnun..Kisah sastra yang sangat fenomenal. Penasaran pengen banget posting di blog.Yang terpikir, dikemanain yah ALLAH Azza Wa Jalla sama si Layla dan Qais pada saat itu? Tidak terpikirkah mereka ada ALLAH sebagai tempat bersandar dan berharap.. Namun terlepas dari itu, ini salah satu kisah cinta yang mengharu biru.. Hikz..Wallahu 'alam ...


Dikisahkan tentang Qais dan Layla yang hidup di negeri Nedjd, salah satu wilayah di tanah Arab. Mereka adalah sepasang remaja yang sejak kecil sering bermain bersama dan ketika menginjak remaja pergi belajar di sekolah yang sama. Qais berwajah tampan, sementara Layla adalah gadis rupawan yang menjadi dambaan setiap laki-laki. Keduanya saling jatuh cinta, namun adat melarang mereka mengekspresikan gelora cinta secara terbuka. Maka, perasaan keduanya hanya ditumpahkan dalam bentuk syair ketika mereka mempunyai kesempatan bertatap muka secara diam-diam.

Suatu ketika Qais memutuskan untuk ikut bersama ayahnya, Al-Mulawwah, berniaga ke negeri lain agar kelak ia memiliki bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Maka, pamitlah ia kepada Layla dan memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais meminta Layla untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah menunjukkan bulan baru. Meskipun sangat sedih, Layla merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman.

Sepeninggal Qais, Layla hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu. Suatu hari, ayah Layla, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sa’d bin Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Irak. Ketika berjumpa Layla, Sa’d bin Munif langsung jatuh cinta dan melamar Layla kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Layla, Al-Mahdi menerima lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan Sa’d bin Munif. Layla tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

Sementara itu, Qais yang telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem, Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan rindunya terhadap Layla. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus. Ayah Qais melihat kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Layla. Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke kampung halamannya dan berjanji akan melamar Layla untuk Qais.

Ketika sampai kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Layla dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang telah diberikan Sa’d bin Munif. Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Layla menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak berapa lama kemudian, pesta perkawinan Layla dan Sa’d bin Munif diselenggarakan secara besar-besaran. Maka, hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu obat pun yang bisa menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orangtuanya telah mendatangkan banyak tabib ternama. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Karena perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan Majnun, yang berarti kurang sempurna pikirannya.

Akan halnya Layla, meskipun kini telah menjadi istri Sa’d bin Munif, ia tetap mencintai Qais. Menurut Layla, secara fisik ia boleh menjadi istri Sa’d bin Munif, tetapi jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Layla bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak kuat menanggung penderitaan cinta ini, Layla sakit dan selalu memanggil nama Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Layla. Ketika mereka bertemu, Layla memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada lagi keinginannya untuk hidup. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di pusara Layla hingga akhirnya Qais meninggal. Maka, jasad Qais pun dibaringkan di samping pusara Layla.

Kira-kira 10 tahun kemudian, beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Maka, masyhurlah kisah ini sebagai kisah Layla-Majnun..

September 05, 2009

Tulis tulis via Hp

Saat ini kuberada dalam suasana yang sama.Ditemani nasyid penyemangat itu. Seakan-akan waktu berputar.

Suasana pagi menjelang fajar. Semilir angin bertiup seolah2 ingin menyapaku, kicauan burung melengkapi suasana pagi ini.

Ya,di depan laptop kala itu kutuangkan semua isi hati. Tentang kisah malam,yang menyibak perasaan, menggugah jiwa. Jari jemariku luwes skali menari nari. Sepertinya ia turut merasakan apa yg kurasa.

Saat ini pun ingin kuulang kisah itu. Menuangkan kembali suasana hati. Kali ini jari jemariku sangat lincah dgn menekan tuts hp. Huft..meskipun pegal,namun lega rasanya menulis rasa yg tak jelas ini..

Sejenak teringat iringan kata-kata itu,semangat2 itu..
Duhai jiwaku..rasanya ingin berteriak....ingin menangis sepuasnya..Bagaimana harus ku lanjutkan kisah ini ... Ku butuh Engkau,karena ini kisah tentang kita -aku dan kamu-
Temani aku melanjutkannya hingga usai..